Ringkasan Singkat Ganapati Tattwa
Ganapati Tattwa merupakan salah satu Lontar
Tattwa, Lontar Filsafat Siwa, yang digubah dengan mempergunakan metode Tanya
jawab. Tanya jawab tersebut ditulis di dalam 37 lembar dau tal yang disusun
dalam 60 bait/prosa, menggunakan bahasa Sansekerta yang disertai dengan ulasan
dalam bahasa Kawi. Ganapati, putera Siwa, adalah Dewa penanya yang cerdas. Dan
Siwa adalah Maheswara, yang menjabarkan tentang ajaran Rahasia Jnana,
menjelaskan tentang misteri alam semesta beserta isinya. Terutama tentang
hakikat manusia yaitu dari mana ia dilahirkan, untuk apa ia lahir, kemana ia
akan kembali dan bagaimana caranya agar bisa mencapai kelepasan. Kitab Ganapati
Tattwa ini telah dikaji oleh Sudarshana Devi Singhal dan diterbitkan dalam
Satapitaka Series No.4 oleh International Academy of Indian Culture, Nagpur,
India (1958) terdiri dari 60 sloka dalam Chabda Anustubh Sansekerta. Isinya
merupakan dialog antara Sang Hyang Siwa dengan Sang Hyang Ganapati, putranya
sendiri. Secara ringkas isinya dapat diuraikan sebagai berikut:
Omkara adalah wujud sabda sunya, nada Brahman,
asal mula Pancadaivatma : Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra dan Sang Hyang Sadasiva.
Pancadivatma merupakan asal Panca Tan Matra yang terdiri dari Rupa (unsur
bentuk), Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur
sentuhan), dan Sabda (unsur suara). Dari Panca Tan Matra munculah Panca
Mahabutha yang merupakan unsur materi (elemen alam semesta) yang terdiri dari :
Apah (air/benda cair), Teja(panas), Vayu (angin), Prthivi (tanah) dan Akasa
(ether). Dari Panca Mahabutha ini alam semesta beserta isinya diciptakan, dan
Sang Hyang Sivatma menjadi sumber hidup yang menggerakkan segala ciptaannya
(Ganapatitattwa dalam Buku Pasek Gunawan, 2012: 62). Dijelaskan pula ajaran
Sadangga Yoga yang terdiri dari Pratyaharayoga, Dhyanayoga, Pranayamayoga,
Dharanayoga, Tarkayoga, dan juga Samadhi ebagai jalan spiritual untuk mencapai
Moksa (Ganapatitattwa dalam Buku Pasek Gunawan, 2012:62). Juga diuraikan
tentang eksistensi Padmahrdaya (Padmahati) sebagai Sang Hyang Sivalingga,
Beliau harus direnungkan. Hanya ia yang bijaksana, berhati suci, dan penuh
keyakinan yang dapat mengetahui beliau. Beliau hendaknya setiap saat dipuja
dengan sarana Sang Hyang Caturdasaksara (14 buah huruf suci). Dilanjutkan
dengan uraian tentang berbagai jenis Lingga (Ganapatitattwa dalam Buku Pasek
Gunawan, 2012 :62). Pada bagian lain diuraikan tentang anggapan orang bodoh dan
sombong yang tidak memahami Atma, juga uraian tentang sthana Bhatara Brahma,
Visnu dan Siva dalam tubuh manusia. Sang Hyang Bhedajnana adalah ajaran yang
sangat rahasia tentang manusia. Yang berhak menerima ajaran Dharma. Berikutnya
diuraikan tentang Moksa (kalepasan) dan orang-orang yang mencapai hal tersebut,
yakni yang mengutamakan pengetahuan yang suci. Bagian terakhir menjelaskan
upacara ruwatan (panglukatan) Ganapati, sarana upakara yang diperlukan, mantra
yang digunakan, dan manfaat dari upacara ritual tersebut. Kitab ini ditutup
dengan mantra pemujaan ditujukan kepada Sang Hyang Ganapati dan Dewi Saraswati
(Ganapatitattwa dalam Buku Pasek Gunawan, 2012:63).
Pokok-Pokok Ajaran
Dalam Ganapati Tattwa Sebagai salah satu sumber dari Siwa Sinddhanta, adapun
pokok-pokok ajaran dalam Ganapati Tattwa, yaitu :
1. Sang Hyang Siwatman
Menciptakan Alam Semesta Dari Unsur Panca Mahabutha Dalam bagian ini, akan di
jelaskan bagaimana percakapan Sang Ganapati dengan Dewa Siwa. Dimana, Dewa Siwa
memberikan wejangan bagaimana Sang Hyang SIwatman itu menciptakan alam semesta
dari unsur Panca Maha Butha. Berawal dari perihal munculnya Panca Daiwatma,
yang dijelaskan bahwa dari Omkara muncul Windu, bagaikan embun yang berada di
ujung rambut/rumput, disinari matahari bening bagaikan dupa, sinarnya terang
cemerlang berkilauan. Dari Windu itu muncullah Panca Daiwatma yaitu : Brahma,
Wisnu, Rudra, Kami/daku dan Sang Hyang Sadasiwa. (Ganapati Tattwa,1.2) Kemudian
tentang hakikat alam semesta, dari Panca Daiwatma lahir Panca Tanmatra, yaitu :
dari Brahma lahir bau, dari Wisnu muncul unsur kenikmatan, dari Rudra timbul
mode/bentuk, dari Daku (Iswara) keluar unsur rabaan, dari Sang Hyang Sadasiwa
nada/suara. (Ganapati Tattwa, 1.4). Kemudian dari sabda timbul ether, dari
sparsa muncul angin, dari rupa keluar sinar, dari rasa lahir zat cair, dan dari
gandha timbul tanah. Dari perthiwi terwujudlah bumi, berkat apah muncul air,
karena teja tercipta matahari, bulan dan bintang; karena wahyu adalah angin;
dari akasa lahirlah tumbuh-tumbuhan seperti : rumput pohon kayu, tanaman
melata, serba kulit kelopak dan inti serta segala makhluk yaitu :
bianatang/ternak, burung, ikan makhluk halus; demikianlah keadaannya alam
semesta itu. Setelah itu juga dijelaskan bagaimana perihal penjelmaan
(kelahiran) manusia. Kelahiran manusia tidaklah berbeda dengan manifestasinya
Dewa. beserta dengan penciptaan alam semesta, sebab manusia lahir dari Windu,
awal mulanya Omkara; bagaimana wujudnya, yakni : Brahma dan Wisnu menciptakan
badan jasmani, yang terbentuk dari unsur tanah dan zat cair; Rudra menciptakan
alat pelihat (mata), yang terwujud dari sinar; Daku (Iswara) membuat pernafasan,
yang berbentuk raba sentuhan; Sang Hyang Sadasiwa menciptakan bunyi/suara, yang
terwujud dari unsur ether. (Ganapati Tattwa, 1.6).
2. Hubungan
Gaib/Rahasia dari Sang Hyang Siwatma Alam semesta dan badan jasmani manusia
adalah tunggal. Sama seperti dalam hubungannya dengan keberadaan bhuana agung
dan bhuana alit. Apa yang ada di alam semesta juga ada dalam tubuh jasmani
manusia. Seperti halnya pada alam semesta, Brahma berstatus di selatan,
memelihara tanah/bumi; Wisnu berstatus di utara memelihara zat cair/air; Rudra
berstatus di barat, mengendalikan matahari, bulan dan bintang; Daku (Iswara)
berstatus di timur mengatur udara/angin; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di
tengah, memelihara ether/atmosphere. Kalau dalam tubuh manusia, Brahma
berstatus di muladhara, menghidupkan indra/jasmaniah, berhubungan dengan
hidung, memerlukan bau; Wisnu berstatus di pusar/nawe, memelihara badan
jasmani, berhubungan dengan lidah, memerlukan unsur kepuasan (rasa); Rudra
berstatus di hati, mengatur kesadaran/tekad, berhubungan dengan pandangan mata,
menentukan pikiran; Daku (Iswara) berstatus di kerongkongan/throat,
mengendalikan ketiduran, berhubungan pada mulut, mengatur nada suara; Sang
Hyang Sadasiwa berstatus di ujung lidah, menguasai segala pengetahuan,
berhubungan dengan telinga, meneliti keadaan suara.(Ganapati Tattwa, 1.8).
Begitulah keberadaan Daiwatma itu dalam tubuh jasmani dan alam semesta ini.
Dalam bagian ini juga dijelaskan tentang muladhara, yang tempatnya diantara
lubang dubur dan alat kelamin. Tentang perpaduan serta pembentukan manusia baru
yang dilahirkan melalui perantara sang ibu. Dikatakan pula perihal tentang yang
menghidupkan bayi itu dalam kandungan hingga adalam usia tuanya. Seperti dalam
Ganapati Tattwa, 1.15 dijelaskan bahwa yang menjadi penghidupannya
3. Sadanggayoga, Jalan
Untuk Mencapai Kelepasan Adapun bagian dari Sadanggayoga, yaitu:
3.1. Pratyaharayoga
Segala tujuan kepuasan hawa nafsu yang dapat dikendalikan dengan ketenangan
iman (pikiran) yang teguh, itulah yang dinyatakan Pratyahara. Pratyaharayoga
artinya segala hubungan hawa nafsu itu terkekang, tiada dibbaskan pemuasannya,
dikendalikan dengan kesadaran iman suci yang teguh, meskipun kurang mesra namun
ada juga kejernihannya, surutnya pemuasan nafsu itulah yang disebut
Pratyaharayoga. (Ganapati Tattwa, 4)
3.2. Dhyanayoga Tanpa
pasangan, tiada perubahan agitasi, tanpa koneksi, dan tetap juga tenang, maka
system konsentrasi renungan berpikir yang demikian itulah yang disebut Dhyana.
Dhyanayoa artinya system pemikiran yang tiada mendua tanpa perubahan, (selalu)
tenang juga dalam suka dukanya, tiada pernah gelisah, tetap teguh tanpa
terpengaruhi, kesadaran pemikiran yang menunggal itulah jadi perilakunya,
demikianlah yang dimaksud Dhyanayoga. (Ganapati Tattwa, 5)
3.3. Pranayamayoga
Isaplah udara dengan segala lubang lain yang tertutup dan terus konsentrasi
kemudian keluarkan udara itu perlahan-lahan, inilah yang disebut system
pelaksanaan Pranayama. Pranayamayoga artinya: tutupilah segala lubang mata,
hidung, telinga dan mulut, namun terlebih dahulu isaplah udara,
konsentrasi/tembuskan pada ubun-ubun, bila sudah terasa tegang/penuh terkendali
biarkanlah keluar melalui lubang hidung secara perlahan-lahan;itulah yang
disebut konsentrasi pengaturan nafas (Pranayamayoga). (Ganapati Tattwa, 6)
3.4. Dharanayoga
Statuskanlah Omkara itu dihati dan konsentrasikan Siwatma (Sunyatma) dengan
Siwatma (Sunyatmaka/Sunyasiwa) bila tiada terdengar sesuatu, demikianlah yang
disebut Dharana. Dharanayoga berarti : secara spirituilnya sebagai simbolik
bahwa Omkara itu ada di hati, yaitu sebagai pusat pengendalian pengaruh unsure
jasmaniah bila tenang tiada lagi terdengar sesuatu dalam saat beryoga, maka
dalam status beginilah Bhatara (Atma) dalam perwujudan Sunyasiwatma (menunggal)
dengan Sumber Jiwa Alam Semesta/Sadasiwa. Demikianlah yang dimaksud
Dharanayoga. (Ganapati Tattwa, 7)
3.5. Tarkayoga Pikiran
itu bagaikan tanpa suara diangkasa, terpisahnya suara dengan angkasa itulah
sebenarnya tujuan pikiran yang suci (Paramartha), demikianlah Tarkayoga itu
adanya. Tarkayoga artinya : bagaikan langit/angkasa kiranya pikiran suci
(Paramartha) itu, yang tiada terpengaruhi sesuatu, sebab tak ada unsure suara
padanya, begitulah simbulnya Paramartha, yang berlainan dengan angkasa udara,
walaupun persamaannya sungguh serba jernih; demikianlah yang disebut Tarkayoga.
(Ganapati Tattwa, 8)
3.6. Semadhiyoga Tiada
lalai, tanpa aktivitas, tanpa keperluan, tanpa pengakuan, tanpa keinginan,
tidak terpengaruh, tanpa harapan; itulah yang disebut Semadhi. Semadhiyoga
artinya: bhatin yang tidak lalai, tiada berharap, tanpa keakuan, tiada sesuatu
yang diinginkannya, tak ada yang diperlukan, tenang tiada terpengaruh; itulah
yang dinamakan Semadhiyoga. (Ganapati Tattwa, 9).
4. Catur Dasaksara
Untuk Caturdasaksara yang bagaikan bunga dengan keharuman tanpa surutnya,
beliau bertahtah di hati, yang senantiasa daku sembah (seperti) Siwa. Di sana
pada ulu hati keadaan Bhatara Siwa, pujalah beliau senantiasa dengan sarana
Sang Hyang Caturdasaksara, bersimbolik seperti ini: SANG, BANG, TANG, ANG, ING,
NANG, MANG, SING, WANG, YANG, ANG, UNG, MANG: OM, itulah beliau Sang hyang
Caturdasaksara, diumpamakan sebagai bunga yang mekar, harum semerbak tiada
selingan, demikianlah pemujaanmu yang tekun setiap waktu. Dari Niskala lahir
Nada, dari Nada muncul Bindu, dari Bundu muncul Bulan (semi), dari Bulan itu
ada Wisnu/ dunia berulang-ulang. Tegasnya, yang Niskala melahirkan Nada. Dari
Nada melahirkan Bindu, dari Bindu melahirkan Ardhacandra, dari Ardhacandra
melahirkan Wisnu/ alam semesta, berulang-ulang pelaksanaannya; Wiswa berarti
Sang Hyang Pranawa, Sang Hyang Pranawa sesungguhnya adalah omkara. Wiswa (alam)
berpadu dengan Candra (semi bulan), Bindu dengan Nada, dari perpaduan itu
senantiasa mewujudkan Omkara.Wiswa itu berpadu dengan Ardhacandra dan Bindu beserta
Nada; energi hidup Ardhacandra dan Bindu serta Nada itu manunggal, selanjutnya
menjadi Omkara.Wiswa melekat pada Candra, dan Candra menempel pada Bindu, serta
Bindu kembali pada Nada, demikianlah perihal/ keadaan aktivitasnya. Wiswa itu
bergantung pada Ardhacandra, Ardhacandra itu lebur dalam Bindu, Bindu itulah
bergantung pada Nada, demikianlah halnya ajaran Filsafat dan Nada itu kembali
ke Niskala. Niskala itu disebut dengan Maya Tattwa, itulah Pradhana (materi),
pengembaliannya pada Nada, dan Niskala itu kembali ke Sunyantara, Sunyantara
itu kembali ke Atyantasunya, sebagai pengembaliannya Niskala dan anakku Sang
Ganadhipa, adapun yang dimaksud Utpatti (lahir), Sthiti (hidup) dan Pralina
(lebur) itu ialah Sang Hyang Pranawa. Dari Siwa lahir Atma, karena Atma maka
dari Prakrti muncullah Rawi (matahari), dari Rawi lahir Agni (panas/api). ING
itulah disebut Siwa, dari siwa lahir Atma, BANG dari Atma lahir
Pradhana/materiil, SANG dari Pradhana/Prakrti lahirlah matahari (Aditya), TANG,
Aditya lahirlah Agni (api/panas),ANG. Demikianlah hal manifestasinya Sang Hyang
Panca Brahma yaitu: ING, BANG, SANG, TANG, ANG. Prakrti itu dijiwai atma, dan
karena Atma maka adalah matahari, adanya Agni menyusul setelah matahari;
demikianlah ternyata Siwagni dalam keadaan Sthiti. Yang permulaan adalah SANG
filsafatnya, selanjutnya BANG, kemudian TANG, terus ANG, dan akhirnya ING,
inilah Sthitinya Sang Hyang Panca Brahma, urutannya adalah SANG, BANG, TANG,
ANG, ING. (Ganapati Tattwa, 24-29).
Aksara Am itu disertai
leh Aksara Tam, disertai oleh Aksara Sam, disertai Aksara Bam, disertai oleh
Aksra Im. Demikianlah lahirnya Sang Hyang Panca Brahma urutannya adalah: Am,
Tam, Sam, Bam, Im. Aksara Sam dan Bam lebur menjadi Aksara (aksara) A,
sedangkan Aksara Tam dan Am lebur menjadi Uksara (aksara) U. Adapun aksara Im
lebur mejadi Makara (aksara Ma). Dengan demikian Sang Hyang Panca Brahma (Am,
Tam, Sam, Bam, Im) lebur menjadi Tyaksara (A, Um, Ma). Apabila Sang Hyang
Tyaksara menyatu maka ia akn menjadi Omkara (aksara Om). Sesungguhnya aksara A
itu berada di tengah, aksara Ma berada di atas, dan aksara U berada di bawah.
Demikianlah pertemuan dari ketiga huruf itu membentuk aksara Om (Omkara).
Aksara Yam, Wam, Sim, dan Nam adalah utpatti Sang Hyang Pancaksara. Aksara Sim,
Wam, Man dan Yam adalah Sthiti Sang Hyang Pancaksara. Sedangkan aksara Nam,
Mam, Sim, Wam, Yam, adalah Pralina sang Hyang Pancaksara. (Ganapati Tattwa,
30-33)
5. Lahirnya Tri
Aksara, Dasaaksara dan Catur Dasaksara Aksara Ya dihilangkan dimasukkan pada
aksara A (Aksara) pada tahap pertama. Tahap kedua masukkan aksara Tang (Siwa)
pada aksara U (Ukara). Tahap ketiga aksara Ya (Yakara) dihilangkan menjadilah
ia aksara Ma (Makara). Adapun aksara A (Aksara) dan aksara U (Ukara) apabila
dilebur akan menjadi aksara O (Okara). Apabila aksara Ma (Makara) dihilangkan
ia akan menjadi Bindu (Windu = titik) yang terletak diatas O (Okara).
Demikianlah tatacara lahir (Utpati), pemeliharaan (Sthiti), dan peleburan
(Pralina). Sang Hyang Panca Brahma dan Pancaksara. Pertama-tama aksara Ma (Makara)
diikuti oleh aksara A dan selanjutnya diikuti oleh aksara U sebagai kelahiran
Sang H yang Tri Aksara Mam, Am dam Um. Itulah tatacara sehingga menyebebkan
mencapai sorga. Apabila aksara A dipakai permulaan kemudian diikuti oleh aksara
U dan aksara Ma, sebagai pemeliharaannya Sang Hyang Tri Aksara Am, Um dan Mam.
Itulah tatacara yang jiga dapat menyebabkan mencapai sorga. Adapun apabila
dimulai dengan aksara U (Ukara) selanjutnya diikuti oleh aksara A dan terakhir
aksara Ma, sebagai pelebur Sang Hyang Tryaksara Um, Am, dan Mam (akan mencapai)
Sorga. Adapun aksara U lebur pada Bindu (windu=titik) dan Ardacandra. Sedangkan
aksara Ma (Makura) lebur pada Nada. Nada itu terletak pada alam kosong.
Demikianlah tatacaranya. Sampai pada hati Caturdasaksara. Inilah Sang Hyang
Bhedajnana kuajarkan kepadamu anakku, oleh karena teramat rahasia sifatnya,
karena itu tidak diketahui oleh dunia (masyarakat), apa sebabnya? Karena ia
adalah rahasia tentang diri (kita), seandainya rahasia itu tidak diketahui
mustahil akan dapat mencapai (dunianya) Siwa. Sesungguhnya asal diri manusia
adalag Dewa (Dewa sarira) dan ia yang selalu menjaga Sang diri. Hal itu
diketahui oleh Sang Pendeta yang merupakan pengetahuan rahasia tentang manusia,
dari awal, pertengahan dan akhir, habis olehku mengajarkan kepadamu, oleh
karena teramat sangat penting untuk diketahui. (Ganapati Tattwa, 34-41)
6. Pengetahuan tentang
Sang Hyang Bheda Jnana Adapun murid yang dapat diberikan pengetahuan tentang
Sang Hyang Bhedajnana adalah murid yang punya imam terhadap Dana ( sedekah),
orang yang dapat mengendalikan nafsunya, dan mereka yang bersungguh-sungguh
hendak melaksanakan Dharma, melaksanakan Bratha (mengurangi kepentingan hidup
di dunia ini), dan pada murid yang berbakthi berguru. Umpamanya : adalah yoga
yang di ajarkan oleh Sang Hyang Bhedajnana. Adapun tatacaranya demikian (lihat
sloka 43). Ada tiga prilaku bagi orang yang mengutamakan (purusa) kebebasan
seperti : ada yang mengikuti prilaku Sakala, Kawalasuddha dan Malinatwa.
Ketiganya dijelaskan demikian. Sakala artinya berbadan tri guna (satwam, rajas,
tamas). Kewalasuddha artinya melepaskan diri dari kebahagiaan (duniawi).
Malinatwa artinya bebas dari sifat tri guna. Manowijnana badannya, artinya suci
badannya. Jiwanya badan suci, dari sana menuju kesangsian, itulah yoga namanya.
Sinyakara kaiwalya artinya orang yang tak ternoda oleh kebahagiaan duniawi
aialah yang dianggap Siwa Suci. Tak lama kemudian, setelah senang terdiam
hening pada badan yang suci, bebas dari nafsu keduniawian tanpa keraguan wujud
yang kosong (itulah yang dimaksud) lenyapnya segala keinginan. Itulah yang
disebut kesucian tertinggi (Paramisudha) karena lenyapnya (segala keinginan)
lalu menggaib tanpa ragu-ragu. Kerjakanlah hal itu oleh dirimu sendiri.
Kesimpulannya, pengetahuan suci yang tak ternodai (adalah) sarana untuk
mencapai penyatuan diri dengan Sang Roh Yang Maha Agung. Tidak ada yang
melebihi keinginan-keinginan yang tak ternoda oleh kesenangan duniawi. Orang
demikian pasa saat mati rohnya (Sang Roh Yang Mempribadi) akan memperoleh
kebahagiaan. Inilah yang dikatakan Purwadhakoti (awal dari sejuta kegelapan )
namanya, oleh karena tak terikat oleh karma dan penikmatan hasil perbuatan,
karenanya mencapai nirwana ujar para Pendeta. Apa sarananya agar mencapai
(nirwana) itu ? ada tiga sarana utama bagi orang yang mengutamakan kebebasan
batin dimana sarana itu dapat mengantar kepada suatu keberhasilan. Ketiga
sarana dimaksud adalah Wairagyaditraya, Pararogya dan Dhyanaditraya.
Wairagyaditraya adalah mengadakan Bahyawairagya Parawairagya,
Iswarapranindhana. Bahyawairagya artinya kawiratin . kawiratin artinya pendeta
yang berilmu tinggi di masyarakat. Parawairagya artinya pendeta witaraga.
Pendeta witaraga adalah pendeta ynang meninggalkan kesenangan hidup
(keduniawian). Iswarapranindhana artinya sang pendeta ynang taat ayogaprawrtti.
Ayogaprawrtti artinya pendeta yang taat melaksanakan pemujaan kepada tuhan.
Dhyanaditraya artinya melakukan pranayama, dharana san samadhi. Pranayama
artinya pemusatan dan pengaturan nafas. Dharana artinya pranawajnana artinya
pemusatan bathin. Samadhi adalag Nirwyaparajnana yang artinya ingat pada
tuntutan yang tampak. Itulah sarana untk menemukan Sang Hyang Bhedajnana.
(Ganapati Tattwa, 42-44)
7. Proses Kembalinya
Sang Roh ke Dasangulasthana Keberadaan Sang Hyang Sadhubhranti kelepasan, Sang
Hyang Wyudbhranti disuruh menjelma kedunia, kemudian ada mantra pemisahnya.
Hendaknya Tri Aksara itu teguh dilaksanakan olehmu (pasti) dicapai Sang Hyang
Sadhubhranti, janganlah keliru (pasti) Sang Hyang Wyudbhranti ketemu. Banyak
pertandanya, tetapi satu maksudnya, umpama : apabila engkau mendengar suara
Ardhacandra Bindu Nada sekaranglah tiba saatnya kematianmu, janganlah engkau
ragu-ragu , lepaskanlah segala kesetiaanmu dan hubungan dengan keluargamu lalu
tutup pangkal nadi (pangkal peredaran darah), ineban (kerongkongan) dan semua
lubang yang ada pada badan sambil melakukan pemusatan batin, dan pengaturan
nafas artinya tutuplah pikiranmu. Janganlah berbuat sesuatu, apabila engkau
bisa melaksanakannya dengan baik maka sang roh yang bersemayam pada dirimu akan
meninggalkan badanmu. Sebagai jalan sang hyang pranawa ( sang roh yang
mempribadi =atma) menuju Dwadasangulasthana (tempat yang terlettak jauh di atas
12 (jari) tingkatan), yang disebut tempat tak terlihat (niskala), tempat
Bhatara Paramasiwa. Terbanglah ia sang roh yang mempribadi dari sana (sang
diri), itulah yang disebut moksa. Tak lama kemudian setelah Sang Roh Yang
Mempribadi terbang dari Dwadasangulasthana, patutlah sang roh yang mempribadi
menjadi paramasiwa tatwa, kembali sebagai roh (roh yang maha agung), apa
sebabnya demikian ? yang berasal dari sunya akan kembali pada paramasunya.
Itulah sebabnya ketahuilah kelakuan itu oleh orang yang ingin mencapai
kebebasan. Itulah sarananya untuk menemukan pengetahuan utama. (Ganapati
Tattwa, 45-48)
8. Panglukatan Sang
Ganapati, Sarana Upakara beserta Mantranya Masyarakat Hindu di Bali mengenal
upacara ngelukat atau melukat., yakni ritual pembersihan diri secara lahir dan
bhatin atau sekala dan niskala. Upacara ini disebut melukat karena di dalamnya
menggunakan tirtha atau air suci pangelukatan yang khusus dibuat untuk tujuan
tersebut (Pudja dalam Buku Bawa Atmaja, 1999 : 90). Seperti dikemukakan dalam
Ganapati Tattwa maka Ganesa atau Ganapati bisa dipuja untuk kepentingan
pengelukatan. Tata cara upacara beserta mantram yang diucapkan oleh pemimpin
ritual yang menyelenggarakan pengelukatan Ganapati, adalah sama dengan
pelaksanaan ritual pengendalian hama dan penyakit tanaman maupun manusia.
Inilah penglukatan (pembersihan) Ganapati, boleh digunakan di sekeliling (yang
hendak dibersihkan), bahannya bambu Ampel Gading digambari Gana, tangan kirinya
memegang Cakra, tangan kanan memegang Gada. Disertai dengan upakara : ajuman
putih kuning, suci satu, dagingnya bebek (itik) putih jambul, airnya
ditempatkan pada sangku tembaga yang diisi kembang Sudamala serta peras
sesantun diisi uang (sesari) 1.100, samsam daun Katima. Bambu Ampel Gading yang
telah digambari Gana itu dimasukkan pada sangku yang berisi air. Setelah dipuja
gunakanlah pada tempat yang terserang hama. (Ganapati Tattwa.48-60)
suksma.. :D
BalasHapus