Rabu, 13 November 2013

veda1 (wiwaha dalam perspektif veda)

VEDA I
“WIWAHA MENURUT HINDU BERDASARKAN VEDA”

logo_ihdn.jpg
OLEH :

NAMA           : PANDE KOMANG BUDI ARTAWAN
NIM                : 11.1.2.2.1.28
JURUSAN     : PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA AGAMA
PRODI           : PENDIDIKAN BAHASA BALI
SEMESTER  : III (TIGA)
JENJANG     : S1
KELAS          : PBB A1

FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
KAMPUS BANGLI
TAHUN 2012/2013
KATA PENGANTAR
 “Om Swastyastu”
“Om Anobadrah Kretavoyantu Visvatah”
(Semoga pikiran baik selalu datang dari segala penjuru)
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat anugerah beliau makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul:
“WIWAHA MENURUT HINDU BERDASARKAN VEDA”
Tugas ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, karena keterbatasan sumber yang menyangkut tentang materi ini, waktu serta pengetahuan penulis yang masih terbatas sehingga melalui kesempatan inilah penulis memohon saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca yang budiman guna menyempurnakan tugas-tugas berikutnya.
“Om Santih, Santih, Santih, Om”.








GIANYAR,  DESEMBER 2012

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
            1.1 Latar Belakang
            1.2 Rumusan Masalah
            1.3 Tujuan Penulisan
            1.4 Metode Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
            2.1 Pengertian Wiwaha
            2.2 Tujuan Wiwaha
            2.3 Hakikat Wiwaha
            2.4 Syarat-syarat Wiwaha
            2.5 Sistem Perkawinan Hindu Menurut Veda
            2.6 Tata Cara Perkawinan Hindu Menurut Veda
BAB III PENUTUP
            3.1 Kesimpulan
            3.2 Saran-Saran
            3.3 Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting. Dalam Catur Asmara, Wiwaha termasuk ke dalam Grehastha Asmara, disamping itu dalam Agama Hindu, Wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa Wiwaha tersebut bersifat sacral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewaiban dalam hidup.
            Wiwaha atau perkawinan tidak boleh dilakukan dengan dasar akan paksaan atau pengaruh dari orang lain, keberhasilan dalam wiwaha atau perkawinan adalah dimana antara pasangan harus saling mencintai , bekerja sama, saling mengisi dan bahu membahu dalam setiap kegiatan berumah tangga selain itu , terbentuknya suatu keluarga yang bahagia dan kekal harusa juga disertai adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dimana hak dan kewajiban serta kedudukan suami dan istri harus seimbang dan sama meskipun Swadharmanya berbeda dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat menarik beberapa permasalahan anntara lain :
1.      Apakah itu Wiwaha ?
2.      Apakah tujuan dari Wiwaha ?
3.      Apa sajakah syarat-syarat dari pelaksanaan wiwaha ?
4.      Apa sebenarnya hakekat dari wiwaha?
5.      Bagaimanakah system perkawinan hindu mmenurut Veda ?
6.      Bagaimanakah tata cara perkawinan Hindu berdasarkan Veda ?
1.3 Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan makalah ini diharapkan mahasiswa mampu dan dapat untuk :
1.      Mampu untuk mendefinisikan pengertian dari Wiwaha .
2.      Mampu untuk mengetahui tujuan dari wiwaha.
3.      Mampu menyebutkan syarat-syarat dari wiwaha.
4.      Mampu mendefinisikan hakekat dari wiwaha.
5.      Mengetahui bagaimana system perkawinan dari agama Hindu.
6.      Mengetahui tata cara dari perkawinan Hindu.
1.4 Metode penulisan.
            Dalam makalah ini penulis mempergunakan metode kepustakaan yaitu metode yang mempergunakan buku-buku yang memiliki kaitan dengan Veda maupun agama Hindu.
            Metode analisis data yang penulis gunakan adalah deskriptif yaitu data yang didapat, disusun secara akurat dan menyeluruh untuk mendapat suatu pembahasn yang dapat disusun dan disimpulkan, mupun dikembangkan dan dirangkai menjadi karya tulis yang sempurna.












BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wiwaha
            Dalam masyarakat hindu terdapat empat jenjang kehidupan yang sering disebut dengan Catur Asmara, yaitu tahap pertama belajar atau menuntut ilmu yang disebut dengan jenjang Brahmacari, yang kedua adalah Grehastha, yaitu jenjang berumah tangga. Yang ketiga yyaitu masa Wanaprastha yaitu melepaskan diri dari ikatan duniawi dan ttahap keempat yaitu Bhiksuka / sanyasin, yaitu menyebarkan ilmu rohani kepada umat dan dirinya sepenuhnya diabdikan kepada tuhan. Wiwaha atau perkkaeinan dalam masyarakat hindu memiliki arti dan kedudukan khusus dan penting, sebagai awal dari masa berumah tangga atau Grehasta Asrama.
            Perkawinan atau Wiwaha identing dengan upacara yadnya, yang menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tidak terpisah dengan hokum agama, dan menjadikan hokum Hindu sebagai dasar persyaratan, legalnya satu perkawinan ditandai dengan pelaksanaan ritual, yaitu upacara wiwaha minimal upacara byakala.
            Perkawinan dianggap sah apabila ada saksi. Dalam upacara Wiwaha (byakala) sudah terkandung Tri Upasaksi (tiga saksi) yaitu, Dewa saksi, Manusa saksi, dan Butha saksi. Dewa saksi ialah saksi dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang dimohon untuk menyaksikan upacara pawiwahan tersebut. Manusa saksi ialah saksi manusia, dalam hal ini semua orang hadir pada saat dilaksanakan upacara utamanya, seperti Pemangku, dan Perangkat desa (Bendesa, Kelihan adat, dan sebagainya) Butha saksi adalah saksi para Butha Kala. Pada saat pelaksanaan upacara byakala kita membakar tetimpug (beberapa potong bamboo yang kedua ruasnya masih ada) sehingga timbul suara ledakan. Suara ledakan itu merupakan symbol memanggil Bhuta Kala untuk hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhan dengan harapan tidak mengganggu jalannya upacara, bahakan ikut menjaga keamanan upacara serta ikut menyaksikan upacara tersebut. Setelah selesai upacara Wiwaha (Byakala) maka pasangan pria dan pereempuan sudah resmi menjadi suami-istri (Dampati) dan berkewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang Grhastin.
2.2 Tujuan Wiwaha
            Berdasarkan kitab Manusmrti, perkawinan bersifat religious dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang mempunyai keturunan dan untuk mennebus dosa-dosa orang tua dengan melahirkan seorang “putra “ kata putra berasal dari bahasa sansekerta yang artinya “ia yang menyebrangkan atau menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka”
            Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwa wiwaha tersebut bersifat sakkral yang hukumnya bersifat wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang  yang normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami oleh seseorang, demikian pula oleh seseorang demikian pula oleh para leluhur akan dapat dikurangi bila memiliki keturunan. Penebusan dosa seseorang akan dapat dilakukkan oleh keturunannya, seperti dijelaskan dalam cerita baik Itihasa, dan Purana.
            Jadi tujuan utama dari Wiwaha adalah unntuk memperoleh keturunan atau sentana terutama yang suputra, yaitu anak yang hormat terhadap orang tua, cinta kasih terhadap sesame, dan berbakti terhadap Ida Sang Hyang Widhhi Wasa. Suputra berarti anak yang mulia dan mampu menyebrangkan orang tuanya dari neraka ke surga, seorang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu mengangkat martabat orang tuanya, mengenai keutamaan suputra dikelaskan dalam kitab Nitisastra sebagai berikut :
Orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaannya dibandingkan oleh orang yang mampu membuat satu yadnya yang tulus iklas, dan orang yang mampu membuat seratus yadnya masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang  anak yang suputra, demikian keutamaan seorang anak yang suputra.
Lebih jauh dijelaskan lagi oleh kitab Manawa Darmasastra bahwa Wiwaha itu disamakan dengan dengan Samskara yang menempatkan kedudukan perkawinan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan yang erat dengan Agama Hindu. Oleh karena itu hendaknya semua persyaratan yang ditentukan hendaknya dipatuhi oleh Umat Hindu.
            Dalam upacara Manusa Yadnya, Wiwaha Samskara (upacara perkawinan) merupakan puncak dari upacara Manusa Yadnya yang harus dilakukan seseorang dalam hidupnya. Wiwaha bertujuan untuk membayar hutang kepada orang tua, maupun leluhur maka hal tersebut disamakan dengan Dharma. Wiwaha samskara diabadiakan berdasarkan Veda, karena ia merupakan salah satu sarira samskara atau penyucian diri melalui perkawinan. Sehubungan dengan itu Manawa Dharmasastra menjelaskan untuk menjadi bapak dan ibu maka diciptakan wanita dan pri oleh tuhan, dank arena itu Veda akan diabadiakn oleh Dharma yang harus dilaksanakan oleh pria, dan wanita sebagai seorang suami dan istri.
            Dalam hidup berumah tangga ada beberapa kewajiaban yang  harus dilaksanakan, yaitu:
1.      Melanjutkan keturunan
2.      Membina rumah tangga
3.      Bermasyarakat dan
4.      Melaksanakan Panca Yadnya
2.3 Hakikat Wiwaha
            Perkawinan menurut ajaran Hindu adalah “Yadnya” sehingga orang yang  memasuki ikatan perkawinan menuju Grehastha Asmara, merupaka lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaannya, di dalam Grehastha inilah tiga usaha yang harus dilaksanakan, yaitu memmenuhi :
1.      Dharma , aturan-aturan yang harus ditaati dengan kesadaran yang berpedoman dengan Dharma Agama dan Dharma Negara.
2.      Artha, kebutuhan hidup berumah tangga berupa material dan pengetahuan.
3.      Kama, rasa kenikmatan atau kebahagiaan yang diwujudkan dalam berkeluarga.
Dengan demikian, keluarga Hindu harus mampu hidup dalam kesadaran sujud kepada
Ida Sang Hyaang Widhi Wasa, bebas dari kegelapan, selalu giat bekerja dan sadar untuk ber-yadnya sehingga tercipta keluarga yang tentram, harmonis, dan damai.

2.4 Syarat-syarat Wiwaha
            Upacara wiwaha adalah suatu samskara dan merupakan lemmbaga yang tidak terpisah dari hukum Agama (Dharma) menurut ajaran agama Hindu berdasarkan Veda, sah atau tidaknya suatu perkawinan terkait dengan sesuai atau tidak persyaratan yang ada dalam ajaran Veda, suatu perkawinnan dianggap sah menurut Hindu berdasarkan Veda adalah :
1.      Sah apabila dilakukan menurut ketentuan hokum Hindu.
2.      Pengesahan perkawinan dilakukan oleh  pendeta atau rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
3.      Sah apabila kedua calon mempelai menganut agama Hindu.
4.      Tradisi di Bali, dikatakan sah setelah melaksanakan upacara byakal / biakaonan sebagai rangkaian wiwaha.
5.      Calon mempelai tidak terikat dengan ikatan pernikahan..
6.      Tidak ada kelainan.
7.      Calon mempelai cukup umur, sang pria minimal berumur 21 tahun, dan wanita minimal 18 tahun.
8.      Mempelai tidak memiliki ikatan sedarah.
Jika calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat yang disebutkan diatas maka perkawinan yang dilaksanakan tersebut tidak sah. Selain itu juga tidak kalah penting adanya akta perkawinan agar perkawinan dianggap sah dan telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku,
2.5 Sistem Perkawinan Hindu menurut Veda
            Sistem perkawinan Hindu adalah cara yang  dibenarkan untuk dilakukan oleh seseorang menurut hukum Hindu dalam melaksanakan tata cara perkawinan, sehingga dapat dinyatakan sah sebagai suami-istri. Kitab suci Hindu yang merupakan kompodium hukum Hindu adalah Manawa Dharmasastra. Dalam kitab Manawa Dharmasastra tersurat sistem atau bentuk perkawinan sebagai berikut :
                        “Brahma Dai Vastat Hai Varsah,
                        Pntpja Vasitha Surah,
                        Gandharwo Raksasa Caiva, dan
Paisacasca Astamo Dharmah”
                                                            (Manawa Dharmasastra,III.21)


(Artinya : adapun sistem perkawinan itu ialah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Gandarwa wiwaha, Raksasa wiwaha, dan Paisaca wiwaha.)
Berdasarkan penjelasan kitab Manawa Dharmasastra tersebut bahwa sistem atau bentuk perkawinan ada 8 jenis yaitu:
1.      Brahma wiwaha, pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli Veda dan berprilaku baik dan setelah menhormati yang diundang sendiri oleh ayah wanita, (Manawa Dharmasastra III, 27).
2.      Daiwa wiwaha, pemberian seorang wanita kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa, (Manawa Dharmasastra III, 28)
3.      Arsa wiwaha, perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan setelah pihak wanita menerima seekor atau sepasang lembu dari pihak calon mempelai laki-laki (Manawa Dharmasastra III,29).
4.      Prajapati wiwaha, pemberian seorang anak setelah berpesan dengan mantra semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban bersama dan setelah menunjukan penghormatan (kepada pengantin pria) (Manawa Dharmasastra III, 30).
5.      Asura wiwaha, bentuk perkawinan dimana setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada Siwa, dan ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki, (Manawa Dharmasastra III,31 ),
6.      Gandarwa wiwaha, bentuk perkawinan suka sama suka, antara pria dan wanita (Manawa Dharmasastra III,32),
7.      Raksasa wiwaha, bentuk perkawinan dengan cara menculik sang gadis dengan cara kekerasan (Manawa Dharmasastra III,33)
8.      Paisaca wiwaha, bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa, dan membuat bingung atau mabuk, (Manawa Dharmasastra III, 34),
Dari delapan sistem perkawinan tersebut ada dua sistem perkawinan yang dilarang dalam kehidupan , dilarang oleh Agama dan dilarang oleh hukum, yaitu sistem perkawinan Raksasa wiwaha, dan Paisaca wiwaha.
Menurut tradisi adat Bali, ada empat bentuk atau sistem perkawinan, yaitu :
1.      Sistem Memadik atau Meminang, yaitu dimana pihak calon suami serta keluarganya datang kerumah  calon istrinya untuk meminang. Sebelumnya kedua calon mempelai telah saling mengenal dan ada kesepakatan untuk berumah tangga, sistem ini dipandang paling terhormat di daerah Bali.
2.      Sistem Ngerorod atau Rangkat, yaitu bentuk perkawinan yang berlangsung atas dasar cinta sama cinta antara kedua mempelai yang sudah cukup umur, sering juga disebut denga kawin lari,.
3.      Sistem Nyentana atau Nyeburin, yaitu perkawinan yang didasarkan atas perubahan status hukum diman calon mempelai wanita secar adat beralih status sebagai purusa dan calon mempelai laki-laki berstatus sebagai predana, dan mempelai laki-laki tinggal dirumah istri.
4.      Sistem Melendang,yaitu bentuk perkawinan dengan cara paksa tidak didasari cinta. Jenis perkawinan ini sama dengan Raksasa wiwaha, Paiscaya wiwaha dan Manawa Dharmasastra.
Tidak jarang terjadi perkawinan antara mereka yang berbeda agama, menurut Ordenasi perkawinan campuran, maka hukum agama si suami lah yang harus diikuti. Berhubungan dengan hal ini agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan dipandang sah menurut Agama Hindu maka Rohaniawan yang muput upacara wiwaha kepada si wanita di awali dengan Sudhiwani sebagai pernyataan bahwa si wanita rela dan sanggup mengikuti agama dari pihak suami, setelah itu barulah upacara wiwaha tersebut dilaksanakan.
2.6  Tata cara perkawinan Hindu menurut Veda
            Perkawinan menurut Hindu sesuai dengan ajaran Veda di Balidari segi ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkat, yaitu kecil (nista), sedang (madya), dan besar (utama).walaupun di bagi menjadi 3 tingkatan nemun nilai spiritualnya sama.
1.      Tata urutan upacara.
·         Penyambutan kedua mempelai,
penyambutan kedua mempelai sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah simbol untuk melenyapkan unsure-unsur negativ yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar  tidak mengganggu jalannya upacara.
·         Mabyakala
Upacara untuk membersihkan lahir batin terhadap kedua mempelai terutama Sukla Swanita, yaitu sel benih pria dan sel benih wanita agar menjadi janin yang Suputra.
·         Mapejati atau Pesaksian
Mapejati merupakan upacara kesaksian tentang pengesahan perkawinan kehadapan Sang Hyang Widhi, juga kepada masyarakat, bahwa kedua mempelai telah mengikatkan diri sebagai suami istri yang sah.
2.      Sarana atau upakara
Jenis upakara yang dipergunakan pada upacara ini secara sederhana rinciannya sebagai berikut:
·         Banten pemagpag, segehan, dan tumpeng dadanan.
·         Banten pesaksi. Pra daksina, dan ajuman.
·         Banten untuk mebyakala, banten kurenan, dan pengulap pengambean.
Adapun kelengkapan upakara lainnya seperti :
·         Tikeh dadakan, tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau, yang merupakan symbol kesucian si gadis
·         Papegat, yaitu berupa dua buah canang, dapdap yang ditancap ditempat upacara, jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan dan keduanya dihubuungkan dengan benang putih dalam keadaan terlentang.
·         Tetimpungan , yaitu berupa beberapa pohon bamboo kecil yng masih muda dan ada ruasnya sebanyak lima ruas dan tujuh ruas.
·         Sok dagang, yaitu sebuah bakul berisi buah-buahan, rempah-rempah, dan keladi.
·         Kala sepetan, disimbulkan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat dengan benag Tridatu, diselipi lidi 3buah, dan 3 lembar daun dap-dap. Kala sepetan adalah nama salah satu bhuta kala yang akan menerima pakala-kalaan.
·         Tegen-tegenan, berupa batang tebu atau cabang dapdap yang kedua ujungnya berisi gantungan bingkisan nasi dan uang.
3.      Jalannya upacara
1.      Upaca Penyambuutan kedua mempelai
Begitu calon mempelai memasuki pintu halaman pekarangan rumah, disambut dengan upacara mesegehan dan tumpeng dandanan, kemudian kedua mempelai duduk ditempat yang disediakan, untuk menunggu upacara selanjutnya
2.      Upacara Mabyakala
Sebelum upacara mabyakala, dilakukan upacara puja astute oleh pemimpin upacara, selanjutnya membakar tetimpug sampai berbunyi sebagai symbol pemberitahuan kepada Bhuta kala yang akan menerima pekala-kalaan. Kedua mempelai berdiri melangkahi tetimpug sebanyak tiga kali dan selanjutnya menghadap banten pabyakalaan, kedua tangan mempelai dibersihkan dengan segau atau tepung tawar, kemudian natab pabyakalaan. Selanjutnya masing-masing ibu jari kaki dari kedua mempelai disentuhkan dengan telur ayam mentah di depan kakinya sebanyak tiga kali. Selanjutnya kedua mempelai dilukat, dengan pengelukatan, upacara selanjutnya adalah berjalan mengelilingi banten pesaksi dank ala sepetan yang disebut Murwa Daksina , saat berjalan, mempelai wanita berada di depan sambil menggendong sok dagangan (simbol menggendong anak), diiringi mempelai wanita memikul tegen-tegenan (simbol keras untuk memperoleh nafkah penghidupan). Setiap melewati Kala Sepetan, ibu jari kanan kedua mempelai disentuhkan pada bakul lambing Kala Sepetan.
            Setelah itu si mempelai wanita di cemeti (dipukul) dengan tiga buah lidi oleh si pria sebagai symbol telah terjadi kesepakatan untuk sehidup dan semati, yang terakhir kedua mempelai memutuskan Benang  Papegat sebagai tanda mereka berdua telah memasuki hidup Grehastha.
3.      Upacara Mapejati atau Persaksian
Dalam upacara ini , kedua mempelai melaksanakan Puja Bhakti sebanyak lima kali kepada Sang Hyang Widhi. Setelah mebakti, kedua mempelai diperciki tirtha pembersih oleh pemimpin upacara. Kemudian natab banten Widhi Widhana dan Majaya-Jaya. Dengan demikian, maka selesailah pelaksanaan Wiwaha Samskara. Selesai upacara Wiwaha Samskara maka di laksanakan pula penandatanganan surat perkawinan oleh kedua mempelai sebagai syarat sahnya suatu pernikahan secara skala.
Dengan adanya upacara perkawianan ini, berarti kedua mempelai telah memilih Agama Hindu, serta ajaran-ajarannya sebagai pegangan hidup didalam membina rumah tangganya, disebutkan pula bahwa hubungan badan(seks) di dalam suatu perkawinan yang tidak didahului dengan upacara pekala-kalaan dianggap tidak baik dan disebut “Kama Kaparagan” dan anak yang lahir akibat Kama tersebut adalah anak yang tidak menghiraukan nasihat orang tua atau ajaran-ajaran agama, anak yang  lahir tersebut disebut dengan “Rare Dia-Dia” atau Rare Babinjat.














BAB III
PENUTUP
3.1           Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama. Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani tetapi juga unsur jasmani dan rohani. Perkawinan juga bukan hanya sekedar hubungan badan yang mendapatkan legalitas melalui hokum sehingga mereka dapat secara leluasa memenuhi kebutuhan biologisnya, tetapi lebih dari itu, perkawinan atau Wiwaha identik dengan upacara Yadnya, yang menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan sebagai lembaga yang terpisah dengan hukum Agama, dan menjadikan hukum Hindu sebagai dasar persyaratan.

3.2           Saran – saran

Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita sebagai acuan pembelajaran
Sebagai acuan juga untuk memperdalam dan mempelajari Veda sebagai sumber suci ajaran Agama Hindu

3.3           Daftar  pustaka


1 komentar: