VEDA
I
“WIWAHA
MENURUT HINDU BERDASARKAN VEDA”

OLEH
:
NAMA : PANDE KOMANG BUDI ARTAWAN
NIM : 11.1.2.2.1.28
JURUSAN : PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA AGAMA
PRODI : PENDIDIKAN BAHASA BALI
SEMESTER : III (TIGA)
JENJANG : S1
KELAS : PBB A1
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
KAMPUS
BANGLI
TAHUN
2012/2013
KATA
PENGANTAR
“Om Swastyastu”
“Om
Anobadrah Kretavoyantu Visvatah”
(Semoga
pikiran baik selalu datang dari segala penjuru)
Puji
syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat
anugerah beliau makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan
judul:
“WIWAHA MENURUT HINDU BERDASARKAN
VEDA”
Tugas
ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, karena keterbatasan sumber yang
menyangkut tentang materi ini, waktu serta pengetahuan penulis yang masih
terbatas sehingga melalui kesempatan inilah penulis memohon saran dan kritik
yang bersifat membangun dari pembaca yang budiman guna menyempurnakan
tugas-tugas berikutnya.
“Om Santih, Santih,
Santih, Om”.
GIANYAR, DESEMBER 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
1.2 Rumusan
Masalah
1.3 Tujuan
Penulisan
1.4 Metode
Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Wiwaha
2.2 Tujuan
Wiwaha
2.3 Hakikat
Wiwaha
2.4
Syarat-syarat Wiwaha
2.5 Sistem
Perkawinan Hindu Menurut Veda
2.6 Tata
Cara Perkawinan Hindu Menurut Veda
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan
3.2
Saran-Saran
3.3 Daftar
Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Wiwaha atau
perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat
penting. Dalam Catur Asmara, Wiwaha termasuk ke dalam Grehastha Asmara,
disamping itu dalam Agama Hindu, Wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha
mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa Wiwaha tersebut
bersifat sacral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh
seseorang yang normal sebagai suatu kewaiban dalam hidup.
Wiwaha atau perkawinan tidak boleh dilakukan dengan dasar
akan paksaan atau pengaruh dari orang lain, keberhasilan dalam wiwaha atau
perkawinan adalah dimana antara pasangan harus saling mencintai , bekerja sama,
saling mengisi dan bahu membahu dalam setiap kegiatan berumah tangga selain itu
, terbentuknya suatu keluarga yang bahagia dan kekal harusa juga disertai
adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dimana hak dan kewajiban serta
kedudukan suami dan istri harus seimbang dan sama meskipun Swadharmanya berbeda
dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat
menarik beberapa permasalahan anntara lain :
1. Apakah
itu Wiwaha ?
2. Apakah
tujuan dari Wiwaha ?
3. Apa
sajakah syarat-syarat dari pelaksanaan wiwaha ?
4. Apa
sebenarnya hakekat dari wiwaha?
5. Bagaimanakah
system perkawinan hindu mmenurut Veda ?
6. Bagaimanakah
tata cara perkawinan Hindu berdasarkan Veda ?
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini diharapkan mahasiswa mampu
dan dapat untuk :
1.
Mampu untuk mendefinisikan pengertian
dari Wiwaha .
2.
Mampu untuk mengetahui tujuan dari
wiwaha.
3.
Mampu menyebutkan syarat-syarat dari
wiwaha.
4.
Mampu mendefinisikan hakekat dari
wiwaha.
5.
Mengetahui bagaimana system perkawinan
dari agama Hindu.
6.
Mengetahui tata cara dari perkawinan
Hindu.
1.4
Metode penulisan.
Dalam makalah ini penulis mempergunakan metode
kepustakaan yaitu metode yang mempergunakan buku-buku yang memiliki kaitan
dengan Veda maupun agama Hindu.
Metode analisis data yang penulis gunakan adalah
deskriptif yaitu data yang didapat, disusun secara akurat dan menyeluruh untuk
mendapat suatu pembahasn yang dapat disusun dan disimpulkan, mupun dikembangkan
dan dirangkai menjadi karya tulis yang sempurna.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Wiwaha
Dalam masyarakat hindu terdapat empat jenjang kehidupan
yang sering disebut dengan Catur Asmara, yaitu tahap pertama belajar atau
menuntut ilmu yang disebut dengan jenjang Brahmacari, yang kedua adalah
Grehastha, yaitu jenjang berumah tangga. Yang ketiga yyaitu masa Wanaprastha
yaitu melepaskan diri dari ikatan duniawi dan ttahap keempat yaitu Bhiksuka /
sanyasin, yaitu menyebarkan ilmu rohani kepada umat dan dirinya sepenuhnya
diabdikan kepada tuhan. Wiwaha atau perkkaeinan dalam masyarakat hindu memiliki
arti dan kedudukan khusus dan penting, sebagai awal dari masa berumah tangga
atau Grehasta Asrama.
Perkawinan atau Wiwaha identing dengan upacara yadnya,
yang menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tidak
terpisah dengan hokum agama, dan menjadikan hokum Hindu sebagai dasar
persyaratan, legalnya satu perkawinan ditandai dengan pelaksanaan ritual, yaitu
upacara wiwaha minimal upacara byakala.
Perkawinan dianggap sah apabila ada saksi. Dalam upacara
Wiwaha (byakala) sudah terkandung Tri Upasaksi (tiga saksi) yaitu, Dewa saksi,
Manusa saksi, dan Butha saksi. Dewa saksi ialah saksi dewa (Ida Sang Hyang
Widhi Wasa) yang dimohon untuk menyaksikan upacara pawiwahan tersebut. Manusa
saksi ialah saksi manusia, dalam hal ini semua orang hadir pada saat
dilaksanakan upacara utamanya, seperti Pemangku, dan Perangkat desa (Bendesa,
Kelihan adat, dan sebagainya) Butha saksi adalah saksi para Butha Kala. Pada
saat pelaksanaan upacara byakala kita membakar tetimpug (beberapa potong bamboo
yang kedua ruasnya masih ada) sehingga timbul suara ledakan. Suara ledakan itu
merupakan symbol memanggil Bhuta Kala untuk hadir di areal upacara, kemudian
diberikan suguhan dengan harapan tidak mengganggu jalannya upacara, bahakan
ikut menjaga keamanan upacara serta ikut menyaksikan upacara tersebut. Setelah
selesai upacara Wiwaha (Byakala) maka pasangan pria dan pereempuan sudah resmi
menjadi suami-istri (Dampati) dan berkewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai
seorang Grhastin.
2.2
Tujuan Wiwaha
Berdasarkan kitab Manusmrti, perkawinan bersifat
religious dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang mempunyai
keturunan dan untuk mennebus dosa-dosa orang tua dengan melahirkan seorang
“putra “ kata putra berasal dari bahasa sansekerta yang artinya “ia yang
menyebrangkan atau menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka”
Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwa wiwaha
tersebut bersifat sakkral yang hukumnya bersifat wajib, dalam artian harus
dilakukan oleh seseorang yang normal
sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami oleh
seseorang, demikian pula oleh seseorang demikian pula oleh para leluhur akan
dapat dikurangi bila memiliki keturunan. Penebusan dosa seseorang akan dapat
dilakukkan oleh keturunannya, seperti dijelaskan dalam cerita baik Itihasa, dan
Purana.
Jadi tujuan utama dari Wiwaha adalah unntuk memperoleh
keturunan atau sentana terutama yang suputra, yaitu anak yang hormat terhadap
orang tua, cinta kasih terhadap sesame, dan berbakti terhadap Ida Sang Hyang
Widhhi Wasa. Suputra berarti anak yang mulia dan mampu menyebrangkan orang
tuanya dari neraka ke surga, seorang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu
mengangkat martabat orang tuanya, mengenai keutamaan suputra dikelaskan dalam
kitab Nitisastra sebagai berikut :
Orang
yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan
orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk
kalah keutamaannya dibandingkan oleh orang yang mampu membuat satu yadnya yang
tulus iklas, dan orang yang mampu membuat seratus yadnya masih kalah
keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak yang suputra, demikian keutamaan seorang
anak yang suputra.
Lebih jauh dijelaskan
lagi oleh kitab Manawa Darmasastra bahwa Wiwaha itu disamakan dengan dengan
Samskara yang menempatkan kedudukan perkawinan sebagai lembaga yang memiliki
keterkaitan yang erat dengan Agama Hindu. Oleh karena itu hendaknya semua
persyaratan yang ditentukan hendaknya dipatuhi oleh Umat Hindu.
Dalam upacara Manusa Yadnya, Wiwaha Samskara (upacara
perkawinan) merupakan puncak dari upacara Manusa Yadnya yang harus dilakukan
seseorang dalam hidupnya. Wiwaha bertujuan untuk membayar hutang kepada orang
tua, maupun leluhur maka hal tersebut disamakan dengan Dharma. Wiwaha samskara
diabadiakan berdasarkan Veda, karena ia merupakan salah satu sarira samskara
atau penyucian diri melalui perkawinan. Sehubungan dengan itu Manawa
Dharmasastra menjelaskan untuk menjadi bapak dan ibu maka diciptakan wanita dan
pri oleh tuhan, dank arena itu Veda akan diabadiakn oleh Dharma yang harus
dilaksanakan oleh pria, dan wanita sebagai seorang suami dan istri.
Dalam hidup berumah tangga ada beberapa kewajiaban
yang harus dilaksanakan, yaitu:
1.
Melanjutkan keturunan
2.
Membina rumah tangga
3.
Bermasyarakat dan
4.
Melaksanakan Panca Yadnya
2.3
Hakikat Wiwaha
Perkawinan menurut ajaran Hindu adalah “Yadnya” sehingga
orang yang memasuki ikatan perkawinan
menuju Grehastha Asmara, merupaka lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya
dan kemuliaannya, di dalam Grehastha inilah tiga usaha yang harus dilaksanakan,
yaitu memmenuhi :
1. Dharma ,
aturan-aturan yang harus ditaati dengan kesadaran yang berpedoman dengan Dharma
Agama dan Dharma Negara.
2. Artha,
kebutuhan hidup berumah tangga berupa material dan pengetahuan.
3. Kama,
rasa kenikmatan atau kebahagiaan yang diwujudkan dalam berkeluarga.
Dengan
demikian, keluarga Hindu harus mampu hidup dalam kesadaran sujud kepada
Ida Sang Hyaang Widhi Wasa, bebas dari kegelapan,
selalu giat bekerja dan sadar untuk ber-yadnya sehingga tercipta keluarga yang
tentram, harmonis, dan damai.
2.4
Syarat-syarat Wiwaha
Upacara
wiwaha adalah suatu samskara dan merupakan lemmbaga yang tidak terpisah dari hukum
Agama (Dharma) menurut ajaran agama Hindu berdasarkan Veda, sah atau tidaknya
suatu perkawinan terkait dengan sesuai atau tidak persyaratan yang ada dalam
ajaran Veda, suatu perkawinnan dianggap sah menurut Hindu berdasarkan Veda
adalah :
1.
Sah apabila dilakukan menurut ketentuan
hokum Hindu.
2.
Pengesahan perkawinan dilakukan
oleh pendeta atau rohaniawan atau
pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
3.
Sah apabila kedua calon mempelai
menganut agama Hindu.
4.
Tradisi di Bali, dikatakan sah setelah
melaksanakan upacara byakal / biakaonan sebagai rangkaian wiwaha.
5.
Calon mempelai tidak terikat dengan
ikatan pernikahan..
6.
Tidak ada kelainan.
7.
Calon mempelai cukup umur, sang pria
minimal berumur 21 tahun, dan wanita minimal 18 tahun.
8.
Mempelai tidak memiliki ikatan sedarah.
Jika
calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat yang disebutkan diatas maka
perkawinan yang dilaksanakan tersebut tidak sah. Selain itu juga tidak kalah
penting adanya akta perkawinan agar perkawinan dianggap sah dan telah sesuai
dengan undang-undang yang berlaku,
2.5
Sistem Perkawinan Hindu menurut Veda
Sistem perkawinan Hindu adalah cara yang dibenarkan untuk dilakukan oleh seseorang
menurut hukum Hindu dalam melaksanakan tata cara perkawinan, sehingga dapat
dinyatakan sah sebagai suami-istri. Kitab suci Hindu yang merupakan kompodium hukum
Hindu adalah Manawa Dharmasastra. Dalam kitab Manawa Dharmasastra tersurat sistem
atau bentuk perkawinan sebagai berikut :
“Brahma Dai Vastat Hai Varsah,
Pntpja Vasitha Surah,
Gandharwo Raksasa Caiva, dan
Paisacasca
Astamo Dharmah”
(Manawa
Dharmasastra,III.21)
(Artinya
: adapun sistem perkawinan itu ialah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Gandarwa
wiwaha, Raksasa wiwaha, dan Paisaca wiwaha.)
Berdasarkan penjelasan
kitab Manawa Dharmasastra tersebut bahwa sistem atau bentuk perkawinan ada 8
jenis yaitu:
1. Brahma wiwaha,
pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli Veda dan berprilaku baik
dan setelah menhormati yang diundang sendiri oleh ayah wanita, (Manawa
Dharmasastra III, 27).
2. Daiwa wiwaha,
pemberian seorang wanita kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara atau
yang telah berjasa, (Manawa Dharmasastra III, 28)
3. Arsa wiwaha,
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan setelah pihak wanita menerima
seekor atau sepasang lembu dari pihak calon mempelai laki-laki (Manawa
Dharmasastra III,29).
4. Prajapati wiwaha,
pemberian seorang anak setelah berpesan dengan mantra semoga kamu berdua
melaksanakan kewajiban bersama dan setelah menunjukan penghormatan (kepada
pengantin pria) (Manawa Dharmasastra III, 30).
5. Asura wiwaha,
bentuk perkawinan dimana setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai
kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada Siwa, dan ayahnya
menerima wanita itu untuk dimiliki, (Manawa Dharmasastra III,31 ),
6. Gandarwa wiwaha,
bentuk perkawinan suka sama suka, antara pria dan wanita (Manawa Dharmasastra
III,32),
7. Raksasa wiwaha,
bentuk perkawinan dengan cara menculik sang gadis dengan cara kekerasan (Manawa
Dharmasastra III,33)
8. Paisaca wiwaha,
bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa, dan membuat bingung atau mabuk,
(Manawa Dharmasastra III, 34),
Dari
delapan sistem perkawinan tersebut ada dua sistem perkawinan yang dilarang
dalam kehidupan , dilarang oleh Agama dan dilarang oleh hukum, yaitu sistem
perkawinan Raksasa wiwaha, dan Paisaca wiwaha.
Menurut
tradisi adat Bali, ada empat bentuk atau sistem perkawinan, yaitu :
1. Sistem Memadik atau Meminang,
yaitu dimana pihak calon suami serta keluarganya datang kerumah calon istrinya untuk meminang. Sebelumnya kedua
calon mempelai telah saling mengenal dan ada kesepakatan untuk berumah tangga, sistem
ini dipandang paling terhormat di daerah Bali.
2. Sistem Ngerorod atau Rangkat,
yaitu bentuk perkawinan yang berlangsung atas dasar cinta sama cinta antara
kedua mempelai yang sudah cukup umur, sering juga disebut denga kawin lari,.
3. Sistem Nyentana atau Nyeburin,
yaitu perkawinan yang didasarkan atas perubahan status hukum diman calon
mempelai wanita secar adat beralih status sebagai purusa dan calon mempelai
laki-laki berstatus sebagai predana, dan mempelai laki-laki tinggal dirumah
istri.
4. Sistem Melendang,yaitu
bentuk perkawinan dengan cara paksa tidak didasari cinta. Jenis perkawinan ini
sama dengan Raksasa wiwaha, Paiscaya wiwaha dan Manawa Dharmasastra.
Tidak
jarang terjadi perkawinan antara mereka yang berbeda agama, menurut Ordenasi
perkawinan campuran, maka hukum agama si suami lah yang harus diikuti.
Berhubungan dengan hal ini agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan
dipandang sah menurut Agama Hindu maka Rohaniawan yang muput upacara wiwaha
kepada si wanita di awali dengan Sudhiwani sebagai pernyataan bahwa si wanita
rela dan sanggup mengikuti agama dari pihak suami, setelah itu barulah upacara
wiwaha tersebut dilaksanakan.
2.6 Tata cara perkawinan Hindu menurut Veda
Perkawinan menurut Hindu sesuai dengan ajaran Veda di
Balidari segi ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkat, yaitu kecil (nista),
sedang (madya), dan besar (utama).walaupun di bagi menjadi 3 tingkatan nemun
nilai spiritualnya sama.
1. Tata urutan upacara.
·
Penyambutan
kedua mempelai,
penyambutan kedua mempelai sebelum
memasuki pintu halaman rumah adalah simbol untuk melenyapkan unsure-unsur negativ
yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar
tidak mengganggu jalannya upacara.
·
Mabyakala
Upacara untuk membersihkan lahir batin
terhadap kedua mempelai terutama Sukla Swanita, yaitu sel benih pria dan sel
benih wanita agar menjadi janin yang Suputra.
·
Mapejati
atau Pesaksian
Mapejati merupakan upacara kesaksian
tentang pengesahan perkawinan kehadapan Sang Hyang Widhi, juga kepada
masyarakat, bahwa kedua mempelai telah mengikatkan diri sebagai suami istri
yang sah.
2. Sarana atau upakara
Jenis
upakara yang dipergunakan pada upacara ini secara sederhana rinciannya sebagai
berikut:
·
Banten pemagpag, segehan, dan tumpeng
dadanan.
·
Banten pesaksi. Pra daksina, dan ajuman.
·
Banten untuk mebyakala, banten kurenan,
dan pengulap pengambean.
Adapun kelengkapan upakara lainnya
seperti :
·
Tikeh dadakan, tikar kecil yang dibuat
dari daun pandan yang masih hijau, yang merupakan symbol kesucian si gadis
·
Papegat, yaitu berupa dua buah canang,
dapdap yang ditancap ditempat upacara, jarak yang satu dengan yang lainnya agak
berjauhan dan keduanya dihubuungkan dengan benang putih dalam keadaan
terlentang.
·
Tetimpungan , yaitu berupa beberapa
pohon bamboo kecil yng masih muda dan ada ruasnya sebanyak lima ruas dan tujuh
ruas.
·
Sok dagang, yaitu sebuah bakul berisi
buah-buahan, rempah-rempah, dan keladi.
·
Kala sepetan, disimbulkan dengan sebuah
bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat dengan benag Tridatu,
diselipi lidi 3buah, dan 3 lembar daun dap-dap. Kala sepetan adalah nama salah
satu bhuta kala yang akan menerima pakala-kalaan.
·
Tegen-tegenan, berupa batang tebu atau
cabang dapdap yang kedua ujungnya berisi gantungan bingkisan nasi dan uang.
3. Jalannya upacara
1.
Upaca
Penyambuutan kedua mempelai
Begitu
calon mempelai memasuki pintu halaman pekarangan rumah, disambut dengan upacara
mesegehan dan tumpeng dandanan, kemudian kedua mempelai duduk ditempat yang
disediakan, untuk menunggu upacara selanjutnya
2.
Upacara
Mabyakala
Sebelum upacara
mabyakala, dilakukan upacara puja astute oleh pemimpin upacara, selanjutnya
membakar tetimpug sampai berbunyi sebagai symbol pemberitahuan kepada Bhuta
kala yang akan menerima pekala-kalaan. Kedua mempelai berdiri melangkahi
tetimpug sebanyak tiga kali dan selanjutnya menghadap banten pabyakalaan, kedua
tangan mempelai dibersihkan dengan segau atau tepung tawar, kemudian natab
pabyakalaan. Selanjutnya masing-masing ibu jari kaki dari kedua mempelai
disentuhkan dengan telur ayam mentah di depan kakinya sebanyak tiga kali.
Selanjutnya kedua mempelai dilukat, dengan pengelukatan, upacara selanjutnya
adalah berjalan mengelilingi banten pesaksi dank ala sepetan yang disebut Murwa
Daksina , saat berjalan, mempelai wanita berada di depan sambil menggendong sok
dagangan (simbol menggendong anak), diiringi mempelai wanita memikul
tegen-tegenan (simbol keras untuk memperoleh nafkah penghidupan). Setiap
melewati Kala Sepetan, ibu jari kanan kedua mempelai disentuhkan pada bakul
lambing Kala Sepetan.
Setelah
itu si mempelai wanita di cemeti (dipukul) dengan tiga buah lidi oleh si pria
sebagai symbol telah terjadi kesepakatan untuk sehidup dan semati, yang
terakhir kedua mempelai memutuskan Benang
Papegat sebagai tanda mereka berdua telah memasuki hidup Grehastha.
3.
Upacara
Mapejati atau Persaksian
Dalam
upacara ini , kedua mempelai melaksanakan Puja Bhakti sebanyak lima kali kepada
Sang Hyang Widhi. Setelah mebakti, kedua mempelai diperciki tirtha pembersih
oleh pemimpin upacara. Kemudian natab banten Widhi Widhana dan Majaya-Jaya.
Dengan demikian, maka selesailah pelaksanaan Wiwaha Samskara. Selesai upacara Wiwaha
Samskara maka di laksanakan pula penandatanganan surat perkawinan oleh kedua
mempelai sebagai syarat sahnya suatu pernikahan secara skala.
Dengan
adanya upacara perkawianan ini, berarti kedua mempelai telah memilih Agama
Hindu, serta ajaran-ajarannya sebagai pegangan hidup didalam membina rumah
tangganya, disebutkan pula bahwa hubungan badan(seks) di dalam suatu perkawinan
yang tidak didahului dengan upacara pekala-kalaan dianggap tidak baik dan
disebut “Kama Kaparagan” dan anak yang lahir akibat Kama tersebut adalah anak
yang tidak menghiraukan nasihat orang tua atau ajaran-ajaran agama, anak
yang lahir tersebut disebut dengan “Rare
Dia-Dia” atau Rare Babinjat.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan perkawinan mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan agama. Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani tetapi juga
unsur jasmani dan rohani. Perkawinan juga bukan hanya sekedar hubungan badan
yang mendapatkan legalitas melalui hokum sehingga mereka dapat secara leluasa
memenuhi kebutuhan biologisnya, tetapi lebih dari itu, perkawinan atau Wiwaha
identik dengan upacara Yadnya, yang menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan
sebagai lembaga yang terpisah dengan hukum Agama, dan menjadikan hukum Hindu
sebagai dasar persyaratan.
3.2
Saran
– saran
Semoga
makalah ini dapat berguna bagi kita sebagai acuan pembelajaran
Sebagai
acuan juga untuk memperdalam dan mempelajari Veda sebagai sumber suci ajaran Agama
Hindu
3.3
Daftar pustaka
http://baline.wordpress.com/2010/05/03/wiwaha/(diakses
28 desember 2012)
http://yuliutomo.blogspot.com/2012/02/perkawinan-menurut-hukum-adat-bali.html(diakses
29 Desember 2012)
kren ne bli
BalasHapus